Selasa, 27 Februari 2018

Menimbang Kembali Asuransi Kapal


Dalam lima hari,lima kapal kena musibah. Di perairan Selat Bangka, KM Tri Star I tenggelam, Kamis (28/12). Pada waktu hampir bersamaan, KM Nur Budiman juga tenggelam di perairan Luwuk, Kab Banggai, Sulteng.

Di Pelabuhan Merak, Banten, kapal feri Nusa Setia Jakarta terdampar. Terakhir, KM Senopati Nusantara dan kapal kayu Bunga Anggrek tenggelam di perairan Jepara. Masih ada kapal lain mengalami kecelakaan yang tidak terdeteksi media massa.



Yang lebih mengenaskan adalah kecelakaan yang menimpa kapal penumpang karena mengancam banyak jiwa manusia. Padahal belum hilang dalam benak kita, KMP Lampung hangus terbakar di Pelabuhan Merak, 16 November.

Belum ada informasi berapa kerugian yang ditanggung oleh perusahaan asuransi akibat kecelakaan tersebut. Yang pasti, perusahaan asuransi yang memberikan jaminan asuransi rangka kapal (marine hull) dan asuransi pengangkutan barang (marine cargo) harus lebih berhati-hati.

Ramalan cuaca oleh BMG tentang kondisi perairan Indonesia beberapa hari ke depan, membuat beberapa perusahaan asuransi/reasuransi menghentikan jaminan asuransi kapal dan pengangkutan barang untuk sementara waktu. Ini sejalan dengan maklumat pemerintah yang melarang kapal berlayar di wilayah berbahaya beberapa hari ke depan.

Risiko asuransi

Ada perusahaan asuransi yang kapok menjual jaminan asuransi kapal. Harus diakui bahwa menanggung risiko kapal adalah tinggi. Berbeda dengan gedung, sebagai bangunan statis, yang risiko kerusakannya lebih bisa dikontrol. Inilah yang menyebabkan tarif premi (rate) asuransi kapal jauh lebih tinggi daripada asuransi harta benda.

Jika terjadi kecelakaan kapal, perusahaan asuransi bisa rugi hingga tiga kali lipat dari harga kapal. Berbeda dengan asuransi mobil. Sebuah mobil seharga Rp1 miliar, jika hilang, maka perusahaan asuransi hanya akan mengeluarkan duit sebesar Rp1 miliar.

Tingginya risiko ini membuat jaminan standar asuransi rangka kapal, tidak ada jaminan all risks. Berbeda dengan asuransi harta benda, asuransi rangka kapal hanya memberikan jaminan berbentuk named perils. Artinya hanya risiko-risiko tertentu, seperti kebakaran, ledakan, kandas, tenggelam dan lainnya.

Banyak faktor penyebab kapal mengalami kecelakaan. Beberapa kecelakaan kapal akhir-akhir ini, hampir bisa dipastikan akibat kondisi cuaca buruk (heavy weather). Namun cuaca buruk tidak boleh selalu menjadi kambing hitam.

Faktor lain yang memperburuk kecelakaan adalah banyak kapal yang sudah tua, ketidakpatuhan terhadap regulasi, dan faktor manajemen pelayaran yang amburadul.

Tidak sedikit kapal tua di Indonesia. KMP Lampung misalnya, dibuat tahun 1971. Kapal seumurannya masih banyak ditemukan di perairan Indonesia.

Kapal-kapal eks Jepang, akan banyak dijumpai. Alasan tidak adanya batas umur ini salah satunya karena prinsip “yang penting kapal dirawat dengan baik”.

Alasan ini tidak sepenuhnya tepat. Bagaimanapun kapal tua, dari sisi kekuatan struktur pasti mengalami penurunan. Juga mesin dan perlengkapan lainnya lebih ketinggalan dibandingkan dengan kapal-kapal baru dengan teknologi yang lebih mutakhir.

Namun jika batasan umur diberlakukan, misalnya maksimal 25 tahun, banyak perusahaan pelayaran nasional bakal gulung tikar. Padahal di sisi lain, pemerintah sedang menggalakkan Inpress No.5/2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional.

Ini tidak kemudian harus menjadi pembenar atas pelanggaran-pelanggaran aturan. Ketegasan regulator adalah keharusan.

Pemerintah membuat aturan bahwa kapal berbendera Indonesia dengan panjang minimal 20 meter atau mesin minimal 250 PK atau minimal 100 GT (gross tonnage), harus diklaskan di Biro Klasifikasi Indonesia (BKI).

Tengoklah di perairan Indonesia, masih banyak kapal yang tidak dikelaskan meskipun memenuhi persyaratan tersebut. Dengan santainya kapal-kapal tersebut melenggang keluar-masuk pelabuhan. Harusnya tegas, jika tidak dikelaskan BKI, maka tidak boleh berlayar.

BKI adalah instansi yang bertugas melakukan survei dan memberikan sertifikasi kapal. Di mata pelaku industri asuransi, BKI juga bukan tanpa ‘masalah’. Underwriter perusahaan asuransi lebih suka kapal diklaskan oleh biro klasifikasi asing anggota International Association of Classification Societies. Ini bukan tidak nasionalis, tetapi ini belajar dari pengalaman. Masih bisa dijumpai, kapal klas BKI tapi kondisinya seperti kapal tidak klas.

Indonesia banyak meratifikasi regulasi maritim internasional. Dalam hal keselamatan di laut misalnya, negara kita mengikuti aturan SOLAS (safety of life at sea). Juga tentang sertifikasi International Safety Management (ISM) Code. Setiap kapal di atas 500 GT, harus mengantongi sertifikat ISM ini.

Apakah semua patuh? Sudah bisa ditebak jawabannya, tidak. Padahal sertifikat ini sangat penting untuk menjamin bahwa kapal dan operator di darat telah mengikuti aturan manajemen keselamatan pengoperasian kapal.

Belum lagi persoalan pelanggaran muatan. Tidak jarang kita dengar kapal mengalami kecelakaan karena kelebihan beban. Persoalan ini tentu syahbandar yang paling bisa menjawabnya.

Contoh lain, bagaimana mungkin bisa hydrant di KMP Lampung macet sehingga kapal terpanggang habis. Ini sebagian ilustrasi kondisi kapal-kapal kita sehingga faktor manajemen harus juga menjadi perhatian utama oleh industri asuransi.

Sinergi & disiplin

Persoalan yang dihadapi perusahaan asuransi kapal dan pengangkutan laut tidak semata-mata di atas. Persaingan tarif premi juga merambah bisnis asuransi ini. Masih ada yang banting harga demi merebut bisnis, padahal peluang klaim cukup tinggi.

Sejak tahun 2001 hingga 2005, rasio klaim (perbandingan jumlah klaim dan jumlah premi) asuransi kapal sebesar 54,5%. Angka ini lebih tinggi daripada rasio klaim asuransi harta benda (43,5%) dan asuransi kendaraan bermotor (40,5%).

Keterbatasan kemampuan dan kehati-hatian/kedisiplinan (prudent) para underwriter juga menjadi persoalan dalam menjalankan bisnis asuransi ini. Ditambah lagi, polis dan hukum yang digunakan dalam penyelesaian klaim lebih banyak mengacu ke hukum dan kebiasaan di Inggris.

Untuk ke depan, sinergi antara Departemen Perhubungan, biro klasifikasi, pemilik/operator kapal, industri asuransi, dan pihak lain terkait diharapkan mampu mendukung terciptanya iklim industri pelayaran yang lebih baik. Masing-masing bertindak secara disiplin terhadap aturan yang seharusnya dijalankan.

Tidak hanya menguntungkan industri asuransi, tetapi semua pihak akan diuntungkan, terutama masyarakat sebagai pengguna transportasi laut. Kondisi kapal yang laik laut dengan manajemen yang handal, tidak cuma akan memberi rasa aman bagi penggunanya dan juga industri asuransi. Pemilik/operator juga bisa mendapatkan imbal balik dari perusahaan asuransi berupa potongan premi dan pelayanan yang lebih baik.

Kita memang tak bisa berbuat banyak apabila kecelakaan kapal akibat cuaca buruk. Tapi menjadi konyol jika kecelakaan itu terjadi karena ketidakdisiplinan pihak-pihak yang seharusnya menjalankan tugas secara semestinya.

sumber: Bisnisindonesia, 4/1/2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar