Bisnis pelayaran ikut terhimpit sulitnya perekonomian global. Para pelaku usaha sektor ini bahkan sampai memilih menahan diri tak melakukan ekspansi.
"Kita wait and see, karena keadaan di luar negeri pun juga sulit. Tentu dengan project-project yang ada diharapkan tetap berjalan," kata Ketua Umum Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Carmelita Hartoto, kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/10/2019).
Dia menambahkan, masa transisi pemerintahan juga menjadi pertimbangan penting dalam menjalankan roda bisnis. Sebagaimana diketahui, Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 masih akan dilantik pada 20 Oktober mendatang.
"Karena sekarang kan juga belum pelantikan, menunggu pergantian kabinet, semua kementerian atau BUMN. [Kami] pada nunggu juga," imbuh Carmelita.
Di tengah situasi global yang sulit dan kondisi dalam negeri yang belum pasti, ada persoalan lain yang jadi momok. Dia khawatir wacana keran investor asing masuk industri pelayaran bakal jadi batu sandungan.
Hal ini berkaitan dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasalnya, pada rancangan regulasi yang baru, disebutkan adanya pelonggaran penerapan azas cabotage dengan memberikan peluang kepada pelayaran asing untuk melayani pelayaran penumpang/barang antarpulau maupun antar pelabuhan dalam negeri.
"Monggo saja kalau mau mengelola pelabuhannya, perlu investasi besar. Tapi pelayaran...Karena kami merasa sanggup kok," ungkapnya.
Dia pun menunjukkan bukti nyata dengan pengalaman dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data, pelaku usaha jasa itu pernah hanya memiliki armada sebanyak 6.041 armada pada 2005.
Namun, kepemilikan armada itu melonjak menjadi 23.823 unit dengan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor jasa itu sebanyak 3.760 perusahaan pada 2017.
Padahal, lanjut Carmelita, sepanjang periode tersebut suku bunga acuan BI masih tergolong tinggi. Dia bilang capaian tersebut menunjukkan bahwa bisnis pelayaran RI masih cukup tangguh sehingga tak butuh investasi asing.
"Apalagi kita diberikan interest rate rendah. Dengan BI menurunkan interest rate itu hanya angka acuan yang turun, ke kita masih tetap tinggi. Jadi tidak terasa penurunan itu," bebernya.
Dia memang mengakui, sempat mengusulkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kemungkinan mendapatkan pembiayaan seperti skema yang diterapkan dalam pembiayaan infrastruktur tenor panjang dan interest rate lebih rendah. Namun hal tersebut bukan merupakan legitimasi bahwa pengusaha nasional sudah tak bisa diharapkan.
"Kami khawatir Presiden yang mengharapkan adanya investor asing masuk. Berpikir sektor kita ini perlu di masuki asing. Di sektor ini kami sanggup berjalan tanpa investor," tegasnya.
"Karena kalau kita harus bersaing, pelayaran nasional akan mati semua. Bukan hanya kami di pelayaran, tapi juga industri turunan kita, termasuk asuransi, bank,galangan dan lain-lain. Apa itu yang diinginkan pemerintah?"
sumber: cnbcindonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar