Tragedi tenggelamnya kapal secara beruntun, KM Sinar Bangun di Danau Toba dan KM Lestari Maju di perairan Selayar beberapa waktu lalu, telah menciderai visi poros maritim dunia (PMD). Timbul pertanyaan, mungkinkah mewujudkan PMD jika soal keselamatan pelayaran saja masih bermasalah?
Dua kejadian di atas menampar ambisi PMD karena menelan korban jiwa. Apakah program-program pembangunan buat PMD telah berjalan efektif atau hanya retorika semata? Misalnya, tol laut. Jangan sampai pemerintah hanya menggenjot perbaikan logistik nasional tetapi mengabaikan pembenahan kuantitas dan kualitas tatakelola pelayaran yang berimbas pada munculnya tragedi.
Pembenahan tak semudah membalikan telapak tangan. Problemnya kompleks dan struktural. Penulis merasakan betul tatkala mudik lebaran berapa waktu lalu di daerah Sulawersi Tenggara (Sultra).
Saat menyeberang ke pulau Muna dari pelabuhan Kendari, ibu kota Sultra, menggunakan transportasi laut, jumah penumpang melebihi kapasitas. Banyak penumpang tak mendapatkan tempat duduk.
Mengapa bisa terjadi? Alasannya, armada yang beroperasi terbatas sementara penumpang membludak. Sayangnya, pemerintah pusat maupun daerah tak mengantisipasinya dan menyediakan langkah kontigensi. Kejadian ini selalu berulang.
Penulis memastikan fenomena serupa terjadi di daerah lain di Indonesia. Makanya, pemerintah pusat jangan hanya membangun jalan tol di darat. Bangun juga infrastruktur transportasi laut, danau, sungai dan penyeberangan yang memadai di seluruh Indonesia
Secara aktual, kecelakaan transportasi perairan di Indonesia masih terjadi dan intensitasnya meningkat. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) melaporkan bahwa selama 2012—2017 jumlahnya 107. Penyebabnya beragam, mulai dari tenggelam (29), terbakar/meledak (40), tubrukan (24), kandas (10), dan lainnya (4). Korban meninggal/hilang tercatat
931 dan luka-luka 631 (KNKT, 2017). Dalam kurun waktu 6 tahun, pemerintah kurang membenahi tatakelola pelayaran dan infrastruktur pendukungnya. Faktor-faktor menyebabkan kecelakaan transportasi perairan ada enam.
Pertama, kesalahan manusia. Bentuknya ialah kecerobohan mengoperasikan kapal, minimnya kapasitas dan kemampuan anak buah kapak (ABK) menguasai problem dalam operasionalisiasi kapal, dan tindakan membiarkan mengangkut penumpang dan barang melebihi kapasitasnya.
Untuk mengantisipasi risiko kecelakaan dan meminimalisasi kesalahan manusia, ABK mesti memiliki pengetahuan, pemahaman, kecakapan dan keterampilan yang mumpuni.
Kedua, teknis. Penyebabnya, desain kapal yang tidak memenuhi standar. Perawatan kapal juga tidak rutin dan terjadwal, sehingga memicu kerusakan yang bisa berakibat fatal.
Ketiga, alamiah. Faktor ini terkait dengan cuaca dan kondisi oseanografi perairan seperti kecepatan arus yang kuat, gelombang tinggi serta badai disertai kabut yang membatasi jarak pandang. Faktor ini amat dipengaruhi musim.
Keempat, kapasitas berlebih. Jumlah penumpang yang diangkut melebihi kapasitas angkut kapal menjadi penyebab sebagian besar kecelakaan. Penyebabnya, kelalaian nahkoda dan minimnya pengawasan di pelabuhan. Selain itu perilaku aparat pengelola pelabuhan yang mengabaikan ketentuan yang berlaku.
Kelima, lemahnya tatakelola lalu lintas kapal. Lemahnya sistem informasi dan koordinasi menimbulkan kerugian.
Keenam, kelembagaan. Hal ini terkait dengan penegakan aturan main. Pengelola kapal kerap melanggar aturan dan aparat membiarkannya. Apalagi, aturannya belum tersedia, khususnya yang mengatur pelayaran kapal-kapal tradisional.
Penegakan Aturan
Kasus KM Sinar Bangun yang menelan korban jiwa membuktikan hal itu. Pengawasan dalam menerapkan ketentuan internasional dalam dunia pelayaran juga lemah. Padahal beberapa aturan tersebut sudah diratifikasi Indonesia. Misalnya International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974 telah disempurnakan pada 1988.
Ada pula Protocol of 1988 Relating to The International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) lewat Perpres No. 57/2017. Semua regulasi nasional maupun internasional (IMO) bertujuan melindungi dan menyelamatkan jiwa (SOLAS Convention, 1974), harta (Load Lines Convention, 1966), dan nyawa manusia di laut serta mencegah pencemaran dan kerusakan ekosistemnya (MARPOL Convention 73/78). Adapun International Safety Management (ISM) Code dan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code menjamin keselamatan dan keamanan.
Problemnya, praktik di Indonesia tidak sesuai antara dokumen dan fakta. International Convention on Standards of Training, Certification dan Watchkeeping for Seafarers 1978 telah direvisi pada 1995. Ketentuan ini mengatur sistem standarisasi berbasis sertifikasi bagi sumber daya manusia (SDM) yang mengoperasikan kapal.
International Convention on Maritime Search and Rescue (1979) mengatur soal mekanisme pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan pelayaran.
Indonesia telah meratifikasinya lewat Perpres No. 30/2012 dan International Aeronautical and Maritime Search and Rescue Manual (IAMSAR) yang diadopsi lewat Perpres No. 83/2016 dengan membentuk Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP).
Standar Kompetensi
Secara kelembagaan, tatakelola pelayaran di Indonesia sudah memadai. Masalahnya, penerapan dan penegakannya masih lemah. Inilah yang memicu kecelakaan pelayaran. Untuk itu pemerintah mesti melakukan langkah-langkah strategis dan solutif agar kecelakaan pelayaran tak berulang.
Pertama, menata ulang aransemen kelembagaan dan menegakan aturan pelayaran yang berlaku secara nasional (UU Pelayaran No. 17/2018) beserta turunannya Perpres No. 57/2017 dan Perpres No. 83/2016 serta ketentuan-ketentuan internasional yang telah diratifikasi.
Jika aturan mainnya belum tersedia, terutama transportasi perairan tradisional, pemerintah mesti menyediakannya.
Kedua, menerapkan standar kompetensi SDM berbasis sertifikasi untuk mengoperasikan kapal pada semua jalur pelayaran. Hal ini akan meningkatkan kualitas, profesionalisme, keterampilan dan posisi tawarnya. Nantinya, tidak ada lagi pemilik kapal merangkap nakoda. Penerapan standar kompentensi ini amat cocok buat kapal-kapal yang melayari destinasi wisata bahari kelas dunia seperti Raja Ampat, Wakatobi, dan Komodo.
Ketiga, mendata ulang kapal-kapal yang beroperasi di jalur-jalur tradisional (sungai, danau dan penyeberangan) dan antarpulau terkait dengan ketersediaan fasilitas penunjang dan tambahannya. Hal ini penting agar dapat dievaluasi kemanfaatan fasilitas tersebut.
Keempat, membenahi dan menegakan regulasi pelayaran secara ketat, karena menyangkut keselamatan jiwa. Diantaranya memastikan implementasi ISM Code lewat pengawasan secara berkala bagi kapal-kapal yang melakukan pelayaran pada jalur-jalur tradisional hingga antar pulau. Menetapkan prosedur operasi standar (SOP) dan penanganan yang ketat terhadap bahan berbahaya yang dimuat maupun kendaraan yang masuk kapal.
Menerapkan mekanisme pengawasan yang ketat dalam penggunaan tiket kapal (termasuk pelayaran rakyat) pada jalur tradisional maupun antar pulau dengan membuat manifes penumpang yang jelas.
Kelima, merestorasi dan meningkatkan kualitas infrastruktur keselamatan transportasi perairan (laut, danau, sungai dan penyeberangan) maupun antar pulau, baik infrastruktur keras (pelabuhan, kapal dan fasilitas pendukungnya) maupun soft-infrastructure (regulasi, kebijakan, dan tatakelola).
sumber: suaracargo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar