Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Capt Sudiono mengatakan, perairan Indonesia tidak hanya sebagai sebagai salah satu wilayah laut tersibuk di dunia. Namun juga menjadikannya menjadi rentan dengan kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan laut, termasuk akibat dari kerangka kapal yang kandas atau tenggelam tanpa ada tindakan atau tanggung jawab pemilik kapal.
“Kerangka kapal dapat menghalangi dermaga dan/atau jalur pelayaran yang menimbulkan kerugian akibat utilitasnya berkurang karena tertutup bangkai kapal dan juga dapat menyebabkan kecelakaan pelayaran,” ujar Sudiono, saat membuka acara Workshop Persiapan Ratifikasi Konvensi Internasional Nairobi tentang Penyingkiran Kerangka-Kerangka Kapal, Kamis (11/4) di Jakarta.
Menurut Sudiono, proses ratifikasi Konvensi Internasional Nairobi ini sejalan dengan komitmen Ditjen Perhubungan Laut untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan terhadap lingkungan laut. Penyingkiran kerangka kapal perlu segera dilakukan jika ada kapal yang mengalami musibah dan tenggelam karena dapat menimbulkan persoalan lanjutan yang berisiko bagi keselamatan dan keamanan pelayaran.
Berbagai kondisi ini, jelas Sudiono dapat terjadi karena kemungkinan tidak terdapat tanda yang menunjukkan posisi kerangka kapal, serta tanggung jawab yang rendah dari pemilik kapal untuk menyingkirkan kerangka kapalnya karena kegiatan penyingkiran kerangka kapal ini memang memerlukan pembiayaan cukup besar yang dapat memberatkan para pemilik kapal.
Asuransi dapat memberikan perlindungan bagi pemilik kapal dalam mengoperasikan setiap kapal. Jika terjadi musibah yang mengakibatkan kapal tenggelam, maka asuransi tersebut bisa mengganti biaya untuk pengangkatan bangkai kapal tersebut.
Sudiono mengatakan, Konvensi Internasional Nairobi tentang Penyingkiran Kerangka-Kapal, 2007, mengatur kewajiban asuransi penyingkiran kerangka kapal (Wreck Removal) dan mulai diberlakukan secara internasional sejak 14 April 2015.
Konvensi tersebut menetapkan kewajiban ketat pada pemilik kapal untuk mencari, menandai, dan mengangkat bangkai kapal yang dianggap bahaya dan mewajibkan pemilik kapal untuk membuat sertifikasi asuransi negara, atau bentuk asuransi lain untuk keamanan finansial perusahaan kapal.
“Dengan meratifikasi Konvensi ini, Indonesia akan memiliki wewenang untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi ini di laut teritorialnya. Setiap kapal yang melintasi wilayah perairan yang menjadi yurisdiksi Indonesia wajib dilengkapi dengan jaminan asuransi penyingkiran kerangka kapal,” kata Sudiono.
Sebagai upaya untuk mewujudkan perlindungan lingkungan maritim, Indonesia telah memiliki aturan yang sejalan dengan Konvensi Internasional Nairobi tentang Penyingkiran Kerangka-Kerangka Kapal, 2007.
“Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pada pasal 203 disebutkan bahwa pemerintah mewajibkan kepada para pemilik kapal untuk menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya maksimum 180 hari sejak kapal tenggelam,” ujar Sudiono.
Workshop Persiapan Ratifikasi Konvensi Internasional Nairobi tentang Penyingkiran Kerangka-Kerangka Kapal ini merupakan langkah Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut selaku regulator keselamatan pelayaran untuk meningkatkan kerja sama persiapan pengesahan Konvensi ini.
Workshop ini diikuti oleh perwakilan dari berbagai unit kerja di lingkungan Kementerian Perhubungan serta Kementerian/Lembaga dan stakeholder terkait, antara lain Sekretariat Kabinet, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DPP INSA, DPP GAPASDAP, Persatuan Perusahaan Pelayaran Rakyat, serta Konsorsium Asuransi Penyingkiran Kerangka Kapal.
sumber: darilaut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar