Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (DPP INSA) Carmelita Hartoto menilai pemerintah perlu menuntaskan persoalan-persoalan kemaritiman dalam periode 2019 - 2024.
Carmelita mengutarakan pelaku usaha pelayaran nasional mengapresiasi upaya pemerintah membenahi sektor maritim dalam 5 tahun terakhir guna mewujudkan Indonesia sebagai negara poros maritim.
Namun, menurut dia, tantangan dan persoalan yang tak kunjung berhenti menyebabkan industri pelayaran nasional sulit bersaing atau bisa dikatakan belum memiliki daya saing yang mumpuni.
Pemerintahan yang baru nanti diharapkan sektor maritim terutama industri pelayaran masih mendapat perhatian khusus sebab masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dicarikan solusinya secara bersama-sama agar pelayaran nasional bisa bersaing di kancah internasional.
"Kami harap pemerintahan 5 tahun mendatang tetap memberikan fokus pada pembenahan sektor maritim, khususnya di sektor pelayaran niaga nasional," ujarnya pada satu diskusi di Jakarta pada Kamis (10/10/2019).
Carmelita menuturkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi pelayaran nasional, misalnya di sektor pembiayaan pengadaan kapal yang masih dibebani bunga bank tinggi dan tenor pendek.
Dia menilai skema pembiayaan di angkutan laut nasional dapat disamakan dengan skema pembiayaan infrastruktur seperti jalan tol dan pelabuhan.
Untuk itu, diperlukan dukungan pemerintah dengan membuat aturan baru atau merevisi PM Menteri Keuangan No. 100/PMK 010/2009 tentang Pembiayaan Infrastruktur, dengan memasukkan kapal sebagai infrastruktur, sehingga perbankan nasional akan memberikan dukungan pendanaan dengan bunga bank rendah dan tenor panjang.
Terkait dengan kebijakan fiskal, industri pelayaran nasional membutuhkan kebijakan yang bersifat equal treatment dengan negara lain. Hal ini untuk mendorong tingkat daya saing pelayaran nasional.
Dia mendorong agar wacana merevisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dihentikan, mengingat UU Pelayaran sudah terbukti mendorong laju pertumbuhan industri pelayaran nasional melalui pasal asas cabotage dalam UU tersebut.
Saat ini, armada pelayaran nasional telah berjumlah lebih dari 25.000 unit kapal, atau naik 323 persen dari awal dimulainya asas cabotage pada 2005 yang saat itu jumlah kapal hanya mencapai 6.000 kapal.
Dengan kekuatan itu, armada pelayaran nasional juga telah menjadi pemain utama di angkutan dalam negeri, dengan telah mampu melayani pengiriman kargo di seluruh Indonesia.
“Peraturan perundangan yang sudah terbukti sukses mendorong laju pertumbuhan industri pelayaran dan ekonomi nasional jangan diubah,” tegasnya.
Menurut dia, seluruh amanat undang-undang pelayaran agar dapat diimplementasikan dengan menerbitkan aturan turunannya. Salah satu amanat undang-undang pelayaran yang perlu segera diimplementasikan terkait badan tunggal penjaga laut dan pantai atau sea and coast guard.
“Tumpang tindihnya penegakan hukum di laut saat ini mengakibatkan ketidakpastian pengiriman barang melalui laut, kerugiaan waktu operasional kapal dan berbiaya tinggi,” ucapnya.
Lain itu, diperlukan implementasi dari kebijakan Non Convension Vessel Standard (NCVS). Implementasi NCVS dibutuhkan mengingat banyak kapal-kapal kecil non konvensi yang beroperasi di Indonesia.
NCVS merupakan aturan yang dikeluarkan masing-masing negara dalam mengatur keselamatan pelayaran bendera kapal. Aturan ini ditujukan bagi kapal-kapal berbobot di bawah 500 GT yang melakukan kegiatan pelayaran domestik dan internasional.
Termasuk juga kapal dengan kriteria yang digerakkan tenaga mekanis, kapal kayu, kapal penangkap ikan, dan kapal pesiar.
“Dengan implementasi NCVS, maka negara hadir dalam mengontrol keselamatan kapal-kapal di bawah 500 GT, sehingga dapat mengurangi kecelakaan transportasi laut,” kata Carmelita.
sumber: bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar