Setiap kapal berbendera Indonesia dan kapal asing yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia kini wajib memasang dan mengaktifkan sistem identifikasi otomatis atau automatic identification system (AIS).
Kewajiban itu diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No PM 7/2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia yang diundangkan pada 20 Februari 2019. Beleid akan berlaku 6 bulan setelah diundangkan.
AIS merupakan peralatan navigasi yang penting dalam perkembangan teknologi keselamatan pelayaran. Memanfaatkan sistem pemancaran radio very high frequency (VHF) yang menyampaikan data melalui VHF Data Link (VDL), AIS mengirim dan menerima informasi secara otomatis ke kapal lain, stasiun VTS, atau SROP.
AIS secara terus-menerus akan mengirimkan data kapal, seperti nama dan jenis kapal, tanda panggilan (call sign), kebangsaan kapal, maritime mobile services identities (MMSI), International Maritime Organization (IMO) Number, bobot kapal, data spesifikasi kapal, status navigasi, titik koordinat kapal, tujuan berlayar dengan perkiraan waktu tiba, kecepatan kapal, dan haluan kapal.
Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Basar Antonius mengatakan bahwa nakhoda wajib mengaktifkan dan memberikan informasi yang benar pada AIS.
"Jika AIS tidak berfungsi, nakhoda wajib menyampaikan informasi kepada SROP [stasiun radio pantai] atau VTS [stasiun vessel traffic services] serta mencatat kejadian tersebut pada buku catatan harian atau log book kapal yang dilaporkan kepada syahbandar,” kata Basar dalam siaran pers, Kamis (7/3/2019).
PM 7 juga mengatur dua jenis AIS. AIS Klas A wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah perairan Indonesia.
Adapun, AIS Klas B wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal berbendera Indonesia yang meliputi kapal penumpang dan kapal barang nonkonvensi dengan ukuran paling rendah 35 GT, kapal yang berlayar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain di bidang kepabeanan, serta kapal penangkap ikan berukuran paling rendah 60 GT.
Pembinaan dan pengawasan terhadap pemasangan dan pengaktifan AIS berada di bawah Menteri Perhubungan. Adapun pengawasan penggunaan AIS dilakukan oleh petugas Stasiun VTS, petugas SROP, pejabat pemeriksa keselamatan kapal, dan pejabat pemeriksa kelaiklautan kapal asing.
Jika AIS pada kapal tidak aktif, petugas stasiun VTS, petugas SROP, pejabat pemeriksa keselamatan kapal, dan pejabat pemeriksa kelaiklautan kapal asing menyampaikan informasi kepada syahbandar terdekat.
SANKSI TEGAS
Basar mengatakan bahwa kapal berbendera Indonesia yang tidak melaksanakan kewajiban itu akan dikenakan sanksi tegas.
“Ditjen Perhubungan Laut akan memberikan sanksi administratif berupa penangguhan pemberian SPB [surat persetujuan berlayar] sampai dengan terpasang dan aktifnya AIS di atas kapal,” kata Basar.
Jika ada nakhoda yang selama pelayaran tidak mengaktifkan AIS dan tidak memberikan informasi yang benar, maka akan dikenai sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat pengukuhan (certificate of endorsement/COE).
Begitu pula dengan kapal asing yang tidak melaksanakan kewajibannya, akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan Tokyo MOU dan perubahannya.
Pengurus Indonesian National Shipowners Association (INSA) Surabaya Slamet Raharjo sebelumnya berpendapat bahwa mandatori AIS juga dapat mengurai penyebab antrean kapal di pelabuhan.
"Dari AIS itu, akan ketahuan posisi kapal, kenapa dia tidak sandar-sandar, atau kenapa dia lama sekali di dermaga, padahal bongkar muat sudah selesai," ujarnya.
sumber: bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar