Para pengusaha pelayaran anggota Indonesian National Shipowners Association (INSA) keberatan dengan rencana pemerintah pusat yang ingin mendatangkan kapal kargo bermuatan besar dari Jepang untuk membantu program Tol Laut.
Rencana tersebut dinilai berpotensi melanggar Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008. "Sesuai dengan undang-undang, kapal asing tidak boleh melayari domestik, kecuali jika kapal di Indonesia tidak ada yang yang serupa. Itu jelas-jelas melanggar undang-undang," kata Sekretaris Umum INSA Budhi Halim di Jakarta pada Senin (16/10/2017).
Dia menambahkan pemerintah pusat seharusnya melakukan komunikasi dengan pelaku industri pelayaran nasional terlebih dahulu.
“Alangkah lebih baiknya, pengusaha pelayaran nasional yang paling diprioritaskan. Pemerintah itu seperti orang tua, jadi berikan kepada kami anak sendiri. Sewa kapal itu mahal dan tidak efektif, nanti pemerintah sendiri yang rugi," paparnya.
Dari kaca mata pemerintah pusat, menurut Budhi, ingin muatan logistik murah dengan cara menyediakan kapal besar. Namun masih ada kendala, mulai dari infrastruktur penunjang hingga tingkat keterisian barang. Dengan begitu, pemerintah berpotensi mengalami kerugian.
"Mesti dilihat, pelabuhan bisa menampung kapal besar atau tidak. Kedua, muatan baliknya ada tidak dari sana? Kapal besar ini bolak-balik dan nantinya subsidi dari pemerintah. Kalau pemerintah yang sewa, nanti pemerintah yang rugi," tururnya.
Budhi menegaskan pengusaha pelayaran nasional mampu mendukung program Tol Laut. Pemerintah hanya tinggal memberikan subsidi kepada swasta. "Pengusaha kita bisa. Ingin biaya logistik swasta murah, subsidi tinggal diberikan kepada swasta untuk menutupi biaya."
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden Lenis Kagoyo, dalam kunjungannya ke Manokwari, Papua Barat, menyatakan pemerintah pusat terus berupaya memperbaiki program tol laut dengan menggandeng perusahaan raksasa asal Jepang.
Alasannya, menurut Lenis, harga bahan pangan dan bahan bakar minyak (BBM) di Papua dan Papua Barat masih tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan kapal kargo bermuatan besar dan berteknologi tinggi sehingga tidak membutuhkan crane untuk proses bongkar muat. Kapal ini diproyeksikan beroperasi mulai November 2017.
"Meski program sudah memasuki tahun ketiga, masyarakat di Papua dan Papua Barat masih mengkritik. Tol laut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, harga BBM tidak turun-turun sesuai program Nawacita Presiden Joko Widodo," ujar Lenis.
Ketua Himpunan Ahli Pelabuhan Indonesia (HAPI) Wahyono Bimarso menyatakan pengusaha pelayaran Indonesia memiliki kapal-kapal bermuatan 1.000-2.000 TEUs serta melayani rute-rute besar ke Indonesia bagian barat dan timur.
Swasta, lanjut Wahyono, takutnya ada investor besar khususnya dari asing yang masuk ke tol laut, kemudian mendatangkan kapal 3.000 dan akan mengambil rute-rute yang bersinggungan dengan mereka.
"Karena itu, investor tersebut harus ditahan, tidak boleh. Kita punya azas cabotage, jadi bendera asing tidak boleh masuk ke dalam pelayaran kita," ujar Wahyono.
sumber: Bisnis
Rencana tersebut dinilai berpotensi melanggar Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008. "Sesuai dengan undang-undang, kapal asing tidak boleh melayari domestik, kecuali jika kapal di Indonesia tidak ada yang yang serupa. Itu jelas-jelas melanggar undang-undang," kata Sekretaris Umum INSA Budhi Halim di Jakarta pada Senin (16/10/2017).
Dia menambahkan pemerintah pusat seharusnya melakukan komunikasi dengan pelaku industri pelayaran nasional terlebih dahulu.
“Alangkah lebih baiknya, pengusaha pelayaran nasional yang paling diprioritaskan. Pemerintah itu seperti orang tua, jadi berikan kepada kami anak sendiri. Sewa kapal itu mahal dan tidak efektif, nanti pemerintah sendiri yang rugi," paparnya.
Dari kaca mata pemerintah pusat, menurut Budhi, ingin muatan logistik murah dengan cara menyediakan kapal besar. Namun masih ada kendala, mulai dari infrastruktur penunjang hingga tingkat keterisian barang. Dengan begitu, pemerintah berpotensi mengalami kerugian.
"Mesti dilihat, pelabuhan bisa menampung kapal besar atau tidak. Kedua, muatan baliknya ada tidak dari sana? Kapal besar ini bolak-balik dan nantinya subsidi dari pemerintah. Kalau pemerintah yang sewa, nanti pemerintah yang rugi," tururnya.
Budhi menegaskan pengusaha pelayaran nasional mampu mendukung program Tol Laut. Pemerintah hanya tinggal memberikan subsidi kepada swasta. "Pengusaha kita bisa. Ingin biaya logistik swasta murah, subsidi tinggal diberikan kepada swasta untuk menutupi biaya."
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden Lenis Kagoyo, dalam kunjungannya ke Manokwari, Papua Barat, menyatakan pemerintah pusat terus berupaya memperbaiki program tol laut dengan menggandeng perusahaan raksasa asal Jepang.
Alasannya, menurut Lenis, harga bahan pangan dan bahan bakar minyak (BBM) di Papua dan Papua Barat masih tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan kapal kargo bermuatan besar dan berteknologi tinggi sehingga tidak membutuhkan crane untuk proses bongkar muat. Kapal ini diproyeksikan beroperasi mulai November 2017.
"Meski program sudah memasuki tahun ketiga, masyarakat di Papua dan Papua Barat masih mengkritik. Tol laut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, harga BBM tidak turun-turun sesuai program Nawacita Presiden Joko Widodo," ujar Lenis.
Ketua Himpunan Ahli Pelabuhan Indonesia (HAPI) Wahyono Bimarso menyatakan pengusaha pelayaran Indonesia memiliki kapal-kapal bermuatan 1.000-2.000 TEUs serta melayani rute-rute besar ke Indonesia bagian barat dan timur.
Swasta, lanjut Wahyono, takutnya ada investor besar khususnya dari asing yang masuk ke tol laut, kemudian mendatangkan kapal 3.000 dan akan mengambil rute-rute yang bersinggungan dengan mereka.
"Karena itu, investor tersebut harus ditahan, tidak boleh. Kita punya azas cabotage, jadi bendera asing tidak boleh masuk ke dalam pelayaran kita," ujar Wahyono.
sumber: Bisnis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar