Selasa, 31 Oktober 2017
Pendapatan turun, rugi Wintermar membengkak
PT Wintermar Offshore Marine Tbk (WINS) belum mampu meningkatkan pendapatan selama sembilan bulan di tahun ini. Alhasil, perusahaan pelayaran ini belum mampu mencetak keuntungan.
WINS hanya memperoleh pendapatan sebesar US$ 43,96 juta pada triwulan ketiga tahun ini. Pencapaian itu masih lebih rendah 37% dibandingkan pendapatan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 69,79 juta.
Beban langsung yang harus ditanggung perusahaan juga berkurang dari US$ 56,32 juta menjadi US$ 43,46 juta per kuartal ketiga 2017, atau turun 7% year-on-year (yoy).
Berkurangnya beban ini disebabkan penurunan biaya pemeliharaan dan operasi selama periode Januari-September 2017. Namun, perusahaan memprediksi beban ini akan naik ke depan.
"Sejalan dengan kapal kami yang mulai mengerjakan lebih banyak pekerjaan, kami perkirakan akan muncul biaya langsung yang lebih tinggi, karena kapal yang menganggur sekarang akan bekerja dengan awak kapal yang lengkap, dan berbagai sertifikasi peralatan dan uji coba laut harus dilakukan untuk memenuhi persyaratan pra-operasi klien kami," ujar Investor Relations WINS Pek Swan Layanto dalam keterangan resmi, Senin (30/10).
Meski beban turun di triwulan ketiga, namun tak mampu memoles bottom line WINS. Kerugian perusahaan malah bertambah sebesar 29,42% yoy menjadi US$ 9,71 juta.
Adapun hingga akhir kuartal ketiga lalu, utilisasi armada WINS meningkat menjadi 58%. Sementara, total kontrak yang dimiliki per September 2017 sebesar US$ 89 juta.
Untuk meningkatkan kinerjanya, perusahaan akan berfokus untuk memastikan kelancaran pengiriman layanan kepada klien dan kelancaran mobilisasi kapal. "Kami juga akan memaksimalkan utilisasi lewat upaya pemasaran domestik dan internasional yang lebih intensif," kata Pek Swan.
sumber: kontan
Minggu, 29 Oktober 2017
Bersama SYL, Deng Ical Letakkan Batu Pertama Pembangunan Galangan Kapal Makassar
Wakil Wali Kota Makassar Dr Syamsu Rizal MI, ikut meletakkan batu pertama Ground Breaking Pembangunan Sarana dan Fasilitas Galangan Kapal Makassar, Areal Slip Way, Minggu (29/10/2017).
Ground breaking ini bertepatan hari jadi PT IKI Makassar ke 40 tahun sekaligus dirangkaikan peluncuran Kapal Motor (KM) Kendhaga Nusantara II NB 186.
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Dirjen Perhubungan Laut Kementrian Perhubungan, Bayu Muhammad Hasani, Wawali Makassar Syamsu Rizal dan Direktur PT IKI Makassar Edi Widarto.
"Semoga pembangunan ini menjadi bukti kemajuan PT IKI," ujar Deng Ical sapaannya usai metekkan batu pertama pembangunan sarana dan fasilitas Galangan Kapal.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Syahrul Yasin Limpo mengatakan dihari jadi ke-40 PT IKI ini melakukan ground breaking dan peluncuran KM hal tersebut bukan tak lain untuk memperluas IKI.
"Ground breaking dan peluncuran KM ini, tidak ada lain adalah untuk menyatakan bahwa IKI menjadi bagian dari Indonesia yang akan memastikan kedepannya Indoensia akan semakin maju dan moderen," kata SYL.
sumber: tribunnews
Kamis, 26 Oktober 2017
Peluang Arctic Shipping, Rute Pelayaran Asia Timur-Eropa Barat Melalui Kutub Utara
Mencairnya es di kawasan kutub utara (Arctic) telah membuka peluang adanya rute baru bagi pelayaran internasional. Namun, rute layak navigasi di kawasan Arctic diperkirakan hanya berlangsung pada rentang waktu tertentu, yaitu saat musim panas. Artinya, tidak sepanjang tahun rute artic layak untuk dilayari.
Namun demikian, dunia pelayaran tetap mengamati kemungkinan berkembangnya rute baru di atas. Saat ini, terdapat empat rute yang berpotensi besar menjadi jalur pelayaran komersil, yaitu: The Northern Sea Route (NSR), Northwest Passage (NWP), Transpolar Sea Route (TSR), dan Arctic Bridge.
The Northern Sea Route (NSR), sepanjang pantai utara Rusia. Rute NSR merupakan rute yang memiliki peluang terbesar akibat fenomena mencairnya es di kawasan kutub. Rute ini yang paling komersil karena menghubungkan Eropa Barat dan Asia Timur yang padat. Melalui NSR, jarak Eropa Barat – Asia Timur hanya sekitar 12.800 km. Jauh lebih pendek dibanding rute konvensional melalui Terusan Suez yang sepanjang 21.000 km, dengan waktu berlayar 10-15 hari lebih singkat.
NSR pernah digunakan Uni Soviet sebagai jalur logistik militer, dan terhenti saat Uni Soviet runtuh pada tahun 1990-an. Pada tahun 2009, dua kapal Jerman yaitu Beluga Fraternity dan Beluga Foresight, dikawal kapal pemecah es Rusia melakukan pelayaran komersial perdana dari Busan (Korea Selatan) menuju Rotterdam (Belanda) melalui NSR. Karena harus berhenti di beberapa titik dengan alasan keselamatan, pelayaran perdana tersebut menjadi tidak menguntungkan. Setelah itu, belum ada lagi pelayaran komersil yang melewati NSR.
Northwest Passage (NWP), melintasi Laut Arctic di utara Kanada. Melalui NWP, jarak pelayaran Asia Timur – Eropa Barat (melalui Selat Bering) hanya berkisar 13.600 km. Jauh lebih pendek dibanding melalui terusan Panama yang sepanjang 24.000 km. Sejak tahun 2007, NWP sudah dibuka walau hanya selama musim panas. IMO terus memantau kestabilan kelayakan navigasi pada rute ini. Diperkirakan mulai tahun 2020, NWP sudah dapat digunakan secara reguler sepanjang tahun.
Transpolar Sea Route (TSR), sama dengan rute NWP di atas, namun rute TSR melintas langsung melalui bagian tengah dari kutub utara. tidak melalui pesisir utara Kanada. Namun, rute ini masih bersifat hipotetis mengingat tutupan es yang masih sangat padat. Jika terwujud, TSR merupakan rute terpendek (berkisar 5000 km) yang menghubungkan Asia Timur – Eropa Barat.
Arctic Bridge, yang menghubungkan pelabuhan Murmansk (Rusia) atau Narvik (Norwegia) ke pelabuhan Churchill Kanada. Rute ini sudah digunakan terutama untuk transportasi gandum. Walau tidak menghubungkan dua samudera, namun Arctic Bridge masih dianggap rute kutub karena melalui kawasan Artic.
Menjadikan rute Arctic sebagai rute navigasi komersial masih dipandang sebagai upaya yang spekulatif. Setidaknya ada empat alasan yang mendasarinya, yaitu:
Pertama, tidak ada kepastian sampai kapan tren mencairnya atau berkurangnya tutupan es di kawasan kutub utara tersebut akan berlangsung. Sampai kini, rute Arctic tetap tertutup untuk navigasi komersial selama musim dingin (kecuali ada perubahan pola cuaca yang radikal). Pada tahun 2010, Arctic hanya dapat dilayari selama sekitar 30 hari pada musim dingin. Bagi perusahaan pelayaran yang memerlukan rute yang reguler dan konsisten, tentu ini bukan pilihan yang menguntungkan.
Kedua, aktivitas ekonomi, sebagai cargo generator, sangat terbatas di sekitar kawasan Arctic. Tidak banyak kota atau pelabuhan yang layak (secara keekonomian) disinggahi di sepanjang rute Arctic. Pelayaran Arctic lebih cocok untuk point to point shipping.
Yang ketiga. Arctic masih tergolong jalur rintisan karena rendahnya informasi cuaca dan dukungan sistem navigasi. Kedua hal tersebut menyiratkan aspek keselamatan pelayaran di kawasan tersebut masih belum dapat diandalkan. Batimetri di Arctic yang umumnya dangkal membatasi ukuran kapal yang dapat dioperasikan. Kapal yang digunakan untuk melayari Arctic juga memerlukan sertifikasi tertentu (Polar Code) sehingga menimbulkan tambahan biaya dan mengurangi keuntungan perusahan pelayaran.
Keempat adalah adanya persaingan dari moda kereta. Layanan pengiriman barang melalui koridor kereta antara China dan Eropa di Asia Tengah (the Eurasian landbridge) menawarkan pilihan rute yang lebih stabil daripada rute Arctic.
Keempat alasan di atas yang membuat perusahaan pelayaran belum secara serius mempertimbangkan penggunaan jalur Arctic. Namun, rute Arctic yang lebih pendek (waktu tempuh lebih singkat) tersebut akan berpeluang besar jika praktek slow steaming sudah tidak lagi mampu mengkompensasi kenaikan harga bahan bakar kapal.
sumber: jurnalmaritim
Diskusi Panel INSA Bahas Implementasi Beyond Cabotage Hingga NCVS
Kapal berbendera Indonesia kini telah menguasai pangsa pasar angkatan laut mencapai 90 persen. Berbeda dengan pangsa pasar angkatan luar negeri hingga kini masih dikuasai negara asing. Hal tersebut menjadi salah satu isu penting dalam diskusi panel Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) yang juga menjadi salah satu partisipan dalam gelaran acara Indonesian Tranport, Logistics, and Maritime Week (ITLMW) 2017, Selasa hingga Jum’at (10-13/10).
Selain itu, isu mengenai beyond cabotage, Sumber Daya Manusia (SDM) Maritim, dan Non Conventional Vessel Standards (NCVS) juga menjadi beberapa bahasan diskusi INSA yang menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya BPSDM Perhubungan yang diwakili oleh Ketua STIP, Badan Klasifikasi Indonesia (BKI), DPP INSA, dan perusahaan pelayaraan anggota INSA.
Bendahara Umum INSA, Nova Y. Mugijanto dalam pemaparannya mengatakan, kapal berbendera merah putih telah menguasai 90 persen pangsa pasar angkutan laut dalam negeri. Sedangkan pangsa pasar angkutan luar negeri masih dikuasi kapal asing. Oleh karena itu, beyond cabotage harus segera diimplementasikan agar kapal-kapal nasional dapat memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
“Program beyond cabotage perlu segera diimplementasikan agar terjaminnya peluang angkutan sehingga meningkatkan peran pelaku usaha dan penyedia jasa pelayaran nasional dalam kegiatan impor/ekspor dan mengurangi defisit neraca jasa transportasi sekaligus mempertegas kedaulatan maritim nasional,” papar Nova di Jakarta, Rabu (11/10/2017).
Seperti dikutip insa.or.id, iindustri pelayaran nasional terus mendorong Kementerian Perhubungan untuk segara menerapkan peraturan NCVS di Indonesia yang telah diluncurkan pada 2012 silam.
Dampak positif pengimplementasian NCVS antara lain, untuk menekan angka kecelakaan kapal di dalam negeri dan menjadi stimulus dalam pertumbuhan industri maritim seperti pelayaran, galangan dan pengadaan SDM kapal.
Dampak lainnya adalah menekan laju devisa ke luar negeri, mengingat sertifikasi kapal tidak lagi mengacu pada International Association of Classification Societies (IACS), melainkan dapat dilakukan oleh lembaga independen NCVS nasional yang dibentuk.
Terkait SDM Maritim, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Capt. Sahattua P. Simatupang menyebutkan pendidikan maritim yang berkualitas menjadi faktor penting dalam mewujudkan cita-cita pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Capt. Sahattua menuturkan ditertbitkan Paket Kebijakan Ekonomi XV menjadi stimulus bagi perkembangan industri pelayaran. Dengan berkembangnya industri pelayaran nasional tentunya diiringi dengan meningkatnya permintaan akan SDM Pelaut. Maka dari itu, sekolah-sekolah pelayaran di Indonesia harus mampu menciptakan SDM Pelaut yang berkualitas.
“Kita optimis pelaut-pelaut kita lebih baik dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Pendidikan maritim kita harus berkualitas,” tegas Capt. Sahattua.
Ketua Bidang Tug and Barge INSA, Hutakemri Ali Samad menambahkan pemerintah dan industri pelayaran nasional perlu memberikan perhatiannya kepada sekolah pelayaran khususnya swasta. Pasalnya, banyak sekolah pelayaran swasta nasional yang berkualitas tetapi tidak memiliki sarana yang memadai seperti simulator.
“Pengadaan simulator yang mahal menjadi salah satu kendala bagi sekolah pelayaran swasta,” pungkas Ali.
Diskusi ini diharapkan menjadi tempat bagi para pelaku industri pelayaran nasional untuk membahas isu, jaringan, dan strategi dalam menangkap peluang bisnis.
sumber: emaritim
Selasa, 24 Oktober 2017
Minim Galangan, Kegiatan Docking Kapal jadi Kendala di Wilayah Timur Indonesia
Indonesia National Shipowners’ Association (INSA) sebagai pengguna jasa galangan kapal berharap kepada Pemerintah agar pembangunan galangan tidak terkonsentrasi di wilayah Barat saja. Saat ini pelayaran justru mengalami kendala melakukan docking kapal, khususnya bagi kapal besar yang beroperasi di wilayah Timur Indonesia.
“Sebaiknya galangan kapal besar juga dibangun di Indonesia bagian timur, sehingga kapal-kapal wilayah timur yang memerlukan perawatan tidak perlu ke wilayah barat dulu,” jelas Carmelita Hartoto, Ketua Umum INSA yang juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perhubungan kepada Maritimnews, Minggu (23/7).
Menurut Carmelita, dampak dari minimnya dan belum adanya industri pendukung pada galangan-galangan di wilayah Timur Indonesia, tentu menjadi kendala bagi pelayaran (kapal besar) yang ingin melakukan docking. Akhirnya perawatan kapal terpaksa ke galangan kapal di wilayah barat untuk naik dock, antara lain ke Surabaya.
“Kapal yang biasa beroperasi di wilayah timur harus dimobilisasi ke wilayah barat dan mengantri masuk dock. Tentunya hal ini memakan waktu serta biaya tinggi,” tuturnya.
Pihak Pelayaran mendukung realisasi penambahan lokasi dock di wilayah timur yang lebih besar. Namun menuju kesana, tentunya harus ada pembangunan sentra-sentra industri pendukung di wilayah timur Indonesia sekaligus power plant sebagai sumber energi. Dengan begitu, investor tertarik dan bisa membangun galangan kapal nasional di wilayah timur.
Adapun galangan kapal sebagai tempat memperbaiki yang di wilayah Indonesia timur, seperti di Balikpapan, Samarinda atau Makassar ukurannya masih kecil-kecil. Di pelabuhan-pelabuhan tersebut masih mengalami kendala pada pengadaan industri penopang, seperti plat baja, pipa dan komponen industri lainnya.
Indonesia National Shipowners’ Association (INSA) sebagai pengguna jasa galangan kapal berharap kepada Pemerintah agar pembangunan galangan tidak terkonsentrasi di wilayah Barat saja. Saat ini pelayaran justru mengalami kendala melakukan docking kapal, khususnya bagi kapal besar yang beroperasi di wilayah Timur Indonesia.
“Sebaiknya galangan kapal besar juga dibangun di Indonesia bagian timur, sehingga kapal-kapal wilayah timur yang memerlukan perawatan tidak perlu ke wilayah barat dulu,” jelas Carmelita Hartoto, Ketua Umum INSA yang juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perhubungan kepada Maritimnews, Minggu (23/7).
Menurut Carmelita, dampak dari minimnya dan belum adanya industri pendukung pada galangan-galangan di wilayah Timur Indonesia, tentu menjadi kendala bagi pelayaran (kapal besar) yang ingin melakukan docking. Akhirnya perawatan kapal terpaksa ke galangan kapal di wilayah barat untuk naik dock, antara lain ke Surabaya.
“Kapal yang biasa beroperasi di wilayah timur harus dimobilisasi ke wilayah barat dan mengantri masuk dock. Tentunya hal ini memakan waktu serta biaya tinggi,” tuturnya.
Pihak Pelayaran mendukung realisasi penambahan lokasi dock di wilayah timur yang lebih besar. Namun menuju kesana, tentunya harus ada pembangunan sentra-sentra industri pendukung di wilayah timur Indonesia sekaligus power plant sebagai sumber energi. Dengan begitu, investor tertarik dan bisa membangun galangan kapal nasional di wilayah timur.
Adapun galangan kapal sebagai tempat memperbaiki yang di wilayah Indonesia timur, seperti di Balikpapan, Samarinda atau Makassar ukurannya masih kecil-kecil. Di pelabuhan-pelabuhan tersebut masih mengalami kendala pada pengadaan industri penopang, seperti plat baja, pipa dan komponen industri lainnya.
sumber: maritimnews
Rabu, 11 Oktober 2017
CMA-CGM dan IPC Buka Pelayaran Rutin Jakarta – LA & Oakland
Perusahaan pelayaran asal Perancis, Compagnie Maritime d’Affretement – Compagnie Generali Maritime (CMA-CGM) membuka layanan baru bernama Java South East Asia Express Services atau Java SEA Express Services, disingkat “JAX Services”.
JAX Services merupakan kerjasama CMA-CGM dan IPC (Pelindo II), akan melayani rute Pelabuhan Tanjung Priok ke West Coast (LA dan Oakland) Amerika Serikat.
Pihak CMA-CGM akan menggunakan kapal kontainer dengan kapasitas angkut 8.500 Teus, dengan weekly call atau sandar mingguan.
Kedatangan kapal CGM-CMA TITUS pada Minggu dini hari (9/4) di Dermaga JICT merupakan bagian dari persiapan peresmian JAX Service tersebut.
CMA-CGM TITUS memiliki kapasitas angkut hingga 8.500 TEUs dan tonase 109.145 DWT. Panjang kapal mencapai 335 meter atau 3 kali panjang lapangan sepakbola, dan menjadi kapal kontainer terbesar yang pernah bersandar di Tanjung Priok.
Setelah menyelesaikan bongkar muat petikemas sebanyak 1.541 boks, CMA-CGM TITUS kembali berlayar Dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) Tanjung Priok menuju AS pada Senin pagi hari ini (11/4).
Menurut pihak JICT, kegiatan bongkar 645 boks petikemas (impor) dilanjutkan muat 896 boks (ekspor), termasuk penyesuaian sistem, memerlukan waktu sekitar 23 jam dan dengan mengerahkan 4 unit Container Cran (CC) tipe post panamax.
JAX Services menjadi penanda dimulainya tekad Pemerintah Indonesia menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai Hub Port nasional.
sumber: jurnalmaritim
Sekilas Containership, Kapal Pengangkut Peti Kemas
Containership atau Kapal peti kemas (sering juga disebut celullarship) adalah kapal yang dibangun khusus mengangkut kontainer atau peti kemas ukuran standar. Penempatan peti kemas bersifat seluler, dengan bingkai vertikal. Berukuran mulai dari sekitar 500 TEU hingga sekitar 22.000 TEU. Kontainer dapat memuat kontainer ukuran 20 ft dan 40 ft. Setiap kapal umumnya mencantumkan kapasitas angkut maksimumnya untuk masing-masing ukuran kontainer.
Menurut Alphaliner, saat ini ada 5.992 unit (11 persen) kapal peti kemas yang beroperasi di seluruh dunia. Total kapasitas angkut mencapai 21 juta TEU dengan total tonase hampir 260 juta dwt.
Kapal peti kemas beroperasi dengan cara yang berbeda dengan Bulker atau General Cargo ship. Kapal peti kemas melayari rute tertentu secara rutin, atau disebut pola liner. Kapal yang lebih kecil digunakan sebagai kapal pengumpan (feeder) dari/ke daerah pedalaman di sekitar terminal peti kemas utama. Kapal peti kemas yang lebih besar biasanya gearless dan memiliki kecepatan lebih dari 25 knot sehingga digunakan dalam pelayaran jarak jauh.
Sejak digunakan lebih dari 50 tahun yang lalu, ukuran kapal peti kemas semakin membesar, semakin canggih dan semakin efisien. Kapal peti kemas generasi terakhir memiliki panjang hampir 400 meter dengan lebar 55 meter. Mesinnya berbobot 2.300 ton, berat propeller 130 ton, dan jarak antara Brigde dan ruang mesin setara 21 lantai. Dengan dukungan sistem komputer, cukup 13 orang untuk mengoperasikannya. Mampu membawa 11.000 buah peti kemas ukuran 20 ft. Jika kontainer sejumlah itu dimuat truk dan dibariskan, akan didapat antrian sepanjang 71 kilometer.
Evolusi Kapal Peti Kemas
Sejak digunakan lebih dari 50 tahun yang lalu, kapal peti kemas kini sudah memasuki gerenasi ke-6. Perkembangan dari generasi ke generasi mengikuti perkembangan perdagangan global yang menuntut efisiensi, keselamatan dan perlindungan lingkungan.
Generasi pertama kapal peti kemas terdiri dari bulk carrier atau tanker yang dimodifikasi sehingga bisa mengangkut peti kemas hingga 1.000 TEUs. Kapal Kontainer pertama, “Ideal-X” adalah konversi dari T2, kapal tanker militer AS eks Perang Dunia II. Saat itu, di awal tahun 1960an penggunaan peti kemas masih terbatas dan belum teruji.
Kapal peti kemas generasi pertama umumnya onboard crane (geared) karena kebanyakan pelabuhan tidak dilengkapi Crane untuk menangani peti kemas. Kecepatan juga relatif lambat, sekitar 18 sampai 20 knot. Peti kemas ditempatkan hanya di deck utama yang telah dikonversi.
Begitu penggunaan peti kemas mulai marak pada awal tahun 1970-an, barulah dimulai pembangunan kapal peti kemas yang sepenuhnya didedikasikan untuk mengangkut peti kemas. Inilah generasi kedua dari kapal peti kemas. Seluruh ruang kapal digunakan untuk menumpuk kontainer, termasuk di bawah dek. Crane mulai ditiadakan agar lebih banyak peti kemas yang dapat diangkut. Kecepatan kapal peti kemas generasi kedua sekitar 20-25 knot.
Generasi Ketiga. Selama tahun 1980-an, pertumbuhan perdagangan dunia mendorong pembangunan kapal peti kemas yang lebih besar. Mengikuti kaidah Economy of scale, yaitu semakin besar jumlah kontainer yang dapat diangkut, maka semakin rendah biaya per TEU. Pada tahun 1985, kapal peti kemas sudah dibangun untuk mencapai batas ukuran Terusan Panama (panamax), yaitu kapal dengan kapasitas sekitar 4.000 TEUs. Kapal peti kemas generasi ketiga ini bertahan hingga sepuluh tahun.
Generasi keempat adalah kelas Post Panamax I dan II. Kapal peti kemas kelas APL C10 (4.500 TEUs) diperkenalkan pada tahun 1988 dan menjadi kelas peti kemas pertama yang melampaui batas 32,2 meter lebar Terusan Panama. Dengan semakin tumbuhnya perdagangan dunia, batas ukuran Terusan Panama tidak lagi dijadikan patokan. Pada tahun 1996, kapal peti kemas post panamax dengan kapasitas mencapai 6.600 TEUs mulai diperkenalkan.
Begitu batas panamax dilanggar, pertumbuhan kapal peti kemas dengan ukuran yang lebih besar meningkat secara cepat dengan kapasitas mencapai 8.000 TEUs (Post Panamax II; “Sovereign Class”). Kapal peti kemas post panamax memicu tantangan pada infrastruktur karena membutuhkan pelabuhan yang lebih dalam (minimal sekitar 13 meter) dan Crane yang lebih efisien dengan jangkauan yang lebih jauh.
New-Panamax, atau Neo-Panamax (NPX) adalah generasi ke-lima kapal peti kemas. Kapal dirancang agar sesuai dimensi baru perluasan Terusan Panama yang selesai pada Juni 2016. Kapal peti kemas generasi ke-lima ini memiliki kapasitas sekitar 12.500 TEU. Seperti halnya panamax, Neo-Panamax cenderung disematkan pada kapal kelas tertentu yang berlayar ke Amerika dan Karibia, baik dari Eropa maupun Asia.
Generasi keenam, Post Panamax III dan Triple E. Pada tahun 2006, Maersk Line memperkenalkan kelas kapal yang memiliki kapasitas 11.000 sampai 14.500 TEUs, yaitu Emma Maersk, (E Class). Kapal ini dijuluki “Post New Panamax” karena lebih besar dari dimensi Terusan Panama yang sudah diperluas. Pada tahun 2013, diperkenalkan kapal kelas “Triple E” sekitar 18.000 TEUs. Kapal-kapal Post New Panamax berlayar pada rute Asia-Eropa yang tidak melewati terusan Panama.
Pada generasi keenam ini sudah ada desain kapal kelas ” Malacca Max”, dengan kapasitas mencapai 27.000-30.000 TEU. Namun kelas ini diperkirakan tidak akan dibangun sampai ada volume perdagangan yang cukup yang melewati rute selat Malaka.
sumber: jurnalmaritim
Selasa, 10 Oktober 2017
PT Dok Perkapalan Surabaya Ajak BUMN dan Swasta Bangun Galangan Kapal Baru
PT Dok Perkapalan Surabaya (Persero) saat ini tengah mencari mitra kerja untuk membangun dan mengembangkan galangan kapal baru di lahan 10 hektar di Lamongan, Jawa Timur. Direktur Utama (Dirut) PT Dok Perkapalan Surabaya, Imam Sulistyanto mengatakan, lahan 10 hektar tersebut masih berupa tanah.
Imam menuturkan, Dok Perkapalan Surabaya membuka peluang kongsi baik dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta. Kerja sama dengan mitra ini, menurut Imam sangat diperlukan agar kapasitas produksi meningkat.
“Ini mesti dilakukan untuk memenuhi pesanan dari beberapa klien yang membutuhkan spesifikasi khusus, seperti PT Pertamina (Persero),” ujar Imam, seperti dilansir Bisnis.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina, Gigih Prakoso sebelumnya mengatakan tahun depan perseroan menganggarkan belanja modal US$ 200 juta untuk pembangunan kapal baru dan perbaikan armada. Jumlah tersebut bisa menjadi potensi pasar bagi galangan kapal dalam negeri.
“Pertamina akan memesan tujuh kapal tanker dengan ukuran 7.500 DWT. Pembangunan kapal ini bakal dijajaki dengan galangan di dalam negeri, terutama galangan kapal milik BUMN. Itu potensi pasar buat mereka. Kita juga perlu lihat kesiapan galangannya," ujar Gigih.
Imam mengungkapkan, saat ini perseroan baru mendapat pesanan tiga kapal dari PT Djakarta Lloyd (Persero) yang terdiri dari dua kapal tunda dan satu kapal tanker. Nilai kontrak pembangunan tiga kapal itu mencapai US$21 juta. Adapun pembangunan kapal diestimasi rampung pada 2019.
Pesanan kapal baru menurut Imam, membuat perseroan bakal terus menggenjot fasilitas produksi. Pasalnya, fasilitas galangan praktis menganggur setelah pesanan kapal milik klien rampung. Dok Perkapalan Surabaya juga bisa menggunakan fasilitas dokcing baru yang didanai dari dana penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp200 miliar.
Untuk diketahui, saat ini PT Dok Perkapalan Surabaya memiliki empat dermaga terapung (floating dock) yang mampu menampung kapal berukuran panjang 290 meter. Dari fasilitas ini, sejak 1961, PT Dok Perkapalan Surabaya tercatat telah membangun lebih dari 600 kapal dari berbagai jenis.
Di segmen perbaikan kapal, Dok Perkapalan Surabaya juga bisa menangani kapal berukuran panjang 310 meter. Fasilitas galangan perseroan juga didukung 24 crane yang dapat mengangkat sampai dengan 300 ton.
sumber: emaritim
Senin, 09 Oktober 2017
Pengusaha ASDP Mengeluh Sulit Bersaing Dengan Kapal LCT
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo mengatakan sebanyak 25 persen porsi muatan berpindah memakai kapal landing craft tank atau LCT. Ini yang membuat mereka kesulitan untuk bersaing dengan LCT.
"Mereka tak ada pembatasan ketinggian (barang), kami ada batasannya," kata Khoiri di Hotel Aruna Senggigi, Nusa Tenggara Barat, Kamis, 20 April 2017.
Khoiri menuturkan jika mau adil seharusnya ada aturan yang sama bagi pengusaha penyeberangan yang memakai kapal fery dengan kapal LCT. "Kami menderita kerugian harus operasikan kapal-kapal investasi tinggi, regulasi tinggi."
Menurut Khoiri aturan yang ada saat ini bisa dibilang ketat. Bahkan bisa dikatakan tumpang tindih sehingga menyebabkan adanya persaingan keras dalam hal harga. Persaingan keras ini utamanya terjadi di jalur Bojanegara-Bakauheni.
Khoiri menambahkan kapal LCT yang berstandar rendah memiliki antrean truk-truk yang banyak, sementara kapal-kapal fery yang besar malah menunggu muatan. "Padahal bahaya buat kapal (LCT) kalau muatan di atas truk tak merata bisa menggangu stabilitas kapal," katanya.
Namun menurut Khoiri, Gapasdap tidak meminta dilindungi dan diproteksi berlebihan oleh pemerintah. Keadilan dalam aturan adalah hal utama agar kedua belah pihak bisa hidup bersama dan berdampingan.
sumber: bisnistempo
Senin, 02 Oktober 2017
Galangan Kapal Tradisional di Cilacap Ini Beromzet Miliaran
Angin bertiup kencang menerbangkan pasir-pasir pantai selatan Cilacap, membuat ketapang laut menari ritmis. Di bawah rerimbunannya, kepiting pasir berlarian berebut lubang tak bertuan.
Di siang yang terik itu, puluhan pekerja galangan kapal menurunkan papan kayu meranti dan bengkire Sumatera. Kayu-kayu sepanjang belasan meter itu diangkut dengan trailer yang tampak mungil dibanding kapal yang berdiri megah kendati baru setengah jadi.
Empat pekerja berada di atas trailer untuk menurunkan papan kayu menggunakan balok yang dipasang miring. Papan itu turun ke pelataran galangan dengan lentur, hampir tanpa suara. Tak aneh, para ahli kapal menggunakan kayu itu untuk membalut tulang belikat lambung kapal yang membutuhkan material kelenturan sekaligus kekuatan tingkat tinggi.
Sebagian pekerja lainnya mengangkut dan menata papan sesuai pesanan kepala tukang. Mereka bekerja serba otomatis. Hafal dengan bentuk dan ukuran papan serta peruntukannya.
Dari kejauhan, seorang lelaki tampak beberapa kali mengacung-acungkan tangan memberi perintah. Dia sang kepala tukang, sekaligus penanggungjawab produksi kapal kursin atau bagan. Namanya Agus Rusmanto. Usianya sekitar 49-an tahun.
Kali ini, dia bertanggungjawab atas pembuatan dua kapal. Masing-masing memiliki panjang 30 meter dan 32 meter. Sementara, lebar bukaan lambung atas adalah 7 meter dan 8 meter.
"Ini jenis kapal kursin atau bagan. Kenapa disebut kapal bagan, karena jenis kapal ini berasal dari Bagan, Riau," kata Agus, akhir Agustus lalu.
Mendengar kata Bagan, kemudian menyaksikan betapa gagahnya kapal itu, seolah-olah waktu berputar ke 150 tahun lalu, kala Bagansiapiapi, ibu kota Rokan Hilir Riau, masih menjadi pusat perdagangan internasional. Pada abad ke-19, Bagan menjadi kota pelabuhan nomor dua penghasil ikan terbesar dunia setelah Kota Bergen, Norwegia.
Sejarah Bagan di Selat Malaka memang tak pernah lepas dari dua kata ini, ikan dan galangan kapal. Kota ini dikenal dengan galangan-galangan kapalnya yang mendunia. Konstruksi kapal Bagan menyebar ke Eropa, Amerika, Asia, dan kota-kota pelabuhan se-Nusantara, termasuk Cilacap.
"Yang bawa ke sini ya karena bosnya asalnya dari Cina Bagan, Riau. Saya mendapat ilmu membuat kapal dari dia," ujar Agus.
Melihat dua kapal setengah jadi itu, beragam pertanyaaan mencuat. Bagaimana menentukan panjang lunas bawah, serang depan, serang belakang ,tulangan dasar, tulangan atas, belikat. Pasti dalam desain kapal itu telah dihitung dengan detail apa yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kapal besar.
Namun, bayangan yang rumit-rumit itu kontan buyar. Aneh bin ajaib, mereka tak membuat kapal pesanan dengan desain. Kapal-kapal itu dibuat tanpa sket sedikit pun.
Suwarso (45), tukang senior di galangan Kapal milik CV Tirta Cahaya Mas Cilacap, mengungkap, mereka membuat kapal tanpa gambar, tanpa sket dan tanpa rincian bahan yang njelimet. Pemesan kapal tinggal memesan panjang kapal, lebar bukaan atas dan tinggi kapal.
"Nggak ada set, hanya ukuran dari bos. Ukuran segini-segini, panjang, lebar tinggi. Jadi maunya bos berapa. Makanya pakai feeling saja," ujar Suwarso, enteng. Sang kepala tukang, Agus, mengangguk, membenarkan.
Suwarso adalah tukang berpengalaman. Bisa dibilang, dia adalah wakil kepala tukang. Tugasnya adalah mengontrol serta membantu belasan tukang-tukang lain serta mengontrol penarik atau helper agar bekerja efisien. Kemampuannya kurang lebih setara dengan Agus, hanya kalah tua dan jam terbang.
"Semua kapal yang dibuat di galangan kita adalah kapal kursin atau bagan. Ciri khasnya bodi tinggi, lebar, panjang. Kalau Pekalongan itu lebar pendek," Suwarso menerangkan.
Suwarso bekerja di galangan kapal sejak akhir 1980-an. Sementara, sepuluh tahun sebelumnya, pada akhir 1970-an, Agus telah menjadi pembantu di kalangan kapal ini. Agus mengaku hidup di galangan kapal sejak masa remaja. Waktu itu dia bertugas sebagai penarik, atau jaman sekarang disebut helper.
"Ya, bantu-bantu tukang. Memanggul kayu, memindah papan, menyiapkan paku, menggeser tulangan yang belum pas," Agus menerawang, mengingat masa mudanya dulu.
Lantas, berapa lama mereka membuat sebuah kapal ukuran panjang 30 meter? “Paling sekitar 6 sampai 7 bulan. Sudah bisa diturunkan ke laut. Tapi itu tergantung jumlah pekerjanya juga. Semakin banyak semakin cepat,” ujar Suwarso.
Berbanding terbalik dengan kebutuhan papan penutup lambung yang membutuhkan jenis kayu ulet dan lentur, tulangan kapal harus menggunakan kayu yang keras sekaligus ulet dan tahan rayap dan hewan bubuk. Maka, para ahli kapal laut menggunakan kayu laban sebagai bahan tulangan.
Kayu ini dikenal kuat, keras dan ulet sekaligus. Itu sebabnya, rayap dan bubuk tak doyan dengan jenis kayu ini.
"Harus dengan kayu laban. Kalau kayu jati bisa pecah. Tapi jati pun biasa dipakai di Pantura. Karena di sana tersedia jati berumur tua," Agus menjelaskan.
Pertama-tama, jelas Agus, kapal dibuat dengan menentukan panjang lunas bawah, memperhitungkan panjang kapal. Lantas, para tukang sibuk membikin, tulang bawah, dan tulang atas.
Selanjutnya, tulangan yang sudah terangkai itu ditentukan tarikan lebar atas dimulai dari lambung. Lantas, tulang samping kiri dan kanan ditimbang menggunakan waterpas agar seimbang.
"Nanti bikin papannya samping, kanan kiri. Tinggal keluarnya berapa. Ngikutin aja. Nanti atas keluar berapa, tinggal mengikuti saja, tarik saja. Misalnya bawah tujuh meter, atas delapan meter. Berarti tinggal atas ditarik 1 meter," kata Agus. Perhitungannya, tentu sudah di luar kepala para kepala tukang.
Kapal yang sudah ditutup dengan papan lantas masuk tahap finishing. Tahap finishing terdiri dari pelapisan viber dan cat khusus anti air. Semuanya, impor. Baru setelah itu, kapal dipasang mesin.
Dalam setahun, Agus dan kawan-kawan mampu membuat hingga tiga kapal ukuran besar. Di samping itu, mereka juga menerima order perbaikan atau dalam bahasa mereka, renovasi kapal. Tiap kali menyelesaikan sebuah kapal, bos besar memberi bonus, di luar gaji harian. Besarannya antara Rp 3 juta hingga Rp 6 juta per orang. tergantung jabatannya.
Menurut Suwarso, tiap kapal membutuhkan biaya antara Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar. Namun, dia sendiri tak tahu pasti berapa harga jual satu kapal.
Beberapa jam di galangan kapal tradisional, keyakinan pun menebal, betapa Indonesia adalah negara maritim dengan pelaut-pelaut ulung nan perkasa. Artefak pengetahuannya berdaya guna hingga masa kini. Kapal-kapal megah itu seakan meniupkan angin segar untuk dunia kemaritiman Indonesia.
sumber: liputan6
Langganan:
Postingan (Atom)