Ilustrasi
Bola salju kasus yang menimpa PT Multi Ocean Shipyard (MOS) dikhawatirkan berdampak negatif kepada industri perkapalan Indonesia. Tidak ada penjelasan dan tindakan konkrit atas kegagalan anak usaha PT Soechi Lines Tbk (SOCI) itu dalam memenuhi pesanan terutama dari PT Pertamina (Persero).
Ketua Indonesian Governance Professionals Association, Hendy Fakhrudin, mengungkapkan banyak contoh kasus bisnis perusahaan termasuk emiten bermasalah diawali praktik yang tidak transparan dan tidak memenuhi prinsip akuntabilitas.
Dalam kasus SOCI, Hendy menyarankan manajemennya perlu memberikan penjelasan secara rinci kepada publik. Langkah antisipasi dari potensi terjadi fraud, gratifikasi, dan sebagainya.
“Bayangkan, kontrak tanggal 7 Juni 2013 dengan masa pengerjaan 2 tahun, mestinya diserahkan 7 Juni 2015. Belum selesai, tapi perpanjangan kontrak baru terjadi 5 Oktober 2016. Ini artinya perpanjangan kontrak terjadi setelah wanprestasi," kata Hendy.
“Belum lagi 1 sudah kelihatan bakal terlambat, tapi masih ditambah 2 kontrak lagi di Mei 2014, harus di cek apakah ada permainan didalam," ucap dia.
Pengamat Perkapalan dari Institut Teknologi Sepuluhnovember (ITS) Wasis Dwi Aryawan, mengungkapkan industri galangan kapal cocok untuk Negara seperti Indonesia dan India.
”Pemerintah mungkin menyadari itu dan sudah kasih insentif untuk industri galangan. Tapi pelaksanaan di lapangan kadang tidak sesuai yang diinginkan,” ujarnya.
Dalam kasus pesanan kapal diterima anak usaha SOCI, menurut Wasis, MOS secara profil tidak punya fasilitas pembangunan kapal saat itu, apalagi pengalaman yang tentu tidak cukup untuk membangun kapal sekelas pesanan Pertamina itu.
“Pertamina yang akan dirugikan dari semua keterlambatan yang terjadi. Bagaimana dengan distribusi minyak dalam negeri kalau kapalnya tidak tersedia? Pertamina terpaksa harus sewa, untuk sewa kan perlu biaya, sedangkan jika MOS bisa tepat waktu, Pertamina mestinya sudah bisa menggunakan kapal sendiri. Kerugian ini juga harus dipertimbangkan,” tambah Wasis.
Seperti yang sudah diketahui, Pertamina memesan tiga unit kapal tanker minyak olahan 17.500 LTDW. Seharusnya sudah selesai pada pertengahan 2015. Sudah tiga tahun terjadi keterlambatan.
Selain dari Pertamina, MOS juga menerima pesanan dari Dirjen Perhubungan Laut (Dithubla) Kementerian Perhubungan. Sebanyak tiga unit kapal perintis tipe 750 DWT dan kapal kenavigasian dipesan.
Jika dihitung dengan denda keterlambatan 1/1000 dari nilai kontrak sesuai Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, MOS terancam denda hingga $100 juta.
”Ada dampak kerugian finansial yang terjadi akibat denda keterlambatan itu. Apakah bisa selesaikan proyeknya atau tidak, tentu bisa. Masalahnya kapan? Permasalahan hukum dan denda itu juga perlu dijawab,” Pengamat Pasar Modal, Alfred Nainggolan, mengungkapkan dalam diskusi “Kisruh Industri Galangan Kapal” di Jakarta, Selasa (27/11). Kerugian negara yang diderita Pertamina akan dibayar siapa?
Aset MOS di dalam SOCI sebesar 40% sejauh ini.
”Mungkin tidak banyak pengaruh ke pendapatan tapi kalau dibiarkan dan membahayakan, bisa menggerus holding-nya,” ulasnya.
”Secara awam, sulit untuk mengukur dampak finansial atas kasus MOS kepada keberlangsungan usaha SOCI. Jangan sampai tiba-tiba mengejutkan pasar dan investor ritel jadi pihak paling dikorbankan,” dia mengingatkan.
Contoh kasus terjadi ketika emiten bidang konstruksi dinyatakan kena denda Rp50 miliar. Emiten dimaksud kemudian menyanggupi membayar Rp50 miliar di awal. Namun ketika masuk pengadilan, denda meningkat menjadi lebih dari Rp100 miliar.
Terlebih Pertamina sejauh ini berkontribusi sekitar 50 persen terhadap pendapatan SOCI. Bahkan per kuartal ketiga 2018 sudah mencapai 60 persen.
sumber: wartaekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar